Kata SUKSES adalah serangkaian huruf yang tidak asing
lagi di telinga kita, ada yang benar-benar mengerti penuh maksudnya ada juga yang
hanya latah mengucapkannya. Makna sukses pada hakekatnya sudah pernah diuraikan
dalam salah satu artikel di blog ini juga (klik disini), dan berikut adalah
seri lanjutan dari apa yang tersembunyi dalam 6 (enam) susunan huruf yang
dahsyat ini.
Ada begitu banyak alasan kenapa
seseorang ingin sekolah. Ada yang karena mengejar Ijasah, ada yang karena dipaksa oleh orang
tua, ada yang karena ingin menaikkan derajat keluarga, ada juga yang karena
ingin menuntut ilmu setinggi-tingginya. Namun terkadang beberapa orang merasa
kecewa, sudah sekolah tinggi-tinggi namun belum sukses juga. Jangankan sukses,
mencari pekerjaan saja sulit. Dan beberapa orang lainnya justru sukses,
meskipun tidak sekolah. Jadi, apakah Sekolah untuk Sukses? (Merry Riana).
Untuk sukses perlu sekolah (James
Gwee), namun definisi dari sekolah itu harus jelas. Apakah sekolah termasuk
pendidikan formil dan setelah itu sudah selesai, atau sekolah itu berjalan
terus, setelah kita selesai sekolah - dapat ijasah, kita terus belajar lagi
dari sekolah atau tempat-tempat belajar lainnya lagi, misalnya on the job
training, belajar keterampilan lagi, dan sebagainya. “Formal education will get you a job, self education can
make you rich (Jim Rohn)” dimana ini
terkandung maksud bahwa “Orang yang setelah selesai sekolah dan dapat ijasah
kemudian tidak mau lagi belajar, itu akan sulit sukses. Namun begitu tamat
sekolah, keinginan belajarnya terus dan terus belajar, besar kemungkinan dia
akan sukses”. Pepatah tiongkok bilang “hidup sampai tua, belajar sampai tua”
dimana sekolah berarti tidak berhenti-berhenti belajar/ ongoing process.
Islam sendiri mengajarkan, dimana
Rasulullah SAW bersabda yang artinya : “Tuntutlah ilmu sejak dari
buaian sampai liang lahat” Hadits tersebut menjadi dasar dari ungkapan “Long
life education” atau pendidikan seumur hidup.
Tujuan pendidikan adalah untuk keselamatan (Ki Hajar Dewantoro), ini
mengandung arti kalau orang banyak tahu, banyak wacana, banyak wawasan maka dia
akan terselamatkan dari salah-salah berpikir dan salah-salah bertindak. Namun
ada yang berkata seperti ini, ada orang yang berpendidikan tinggi tapi dia
belum sukses, malah di sosial dia sepertinya tidak punya people skill, social skill
sehingga dia dijauhi. Tanya kenapa?.
Ingatlah bahwa pendidikan itu tidak hanya kognisi saja, disana ada hard skill (pendidikan teknis) seperti
mengetik 10 jari, ada juga yang bersifat ilmu (ilmu fisika, kimia, matematika,
pola-pola alam semesta seperti apa, inilah kognisi), dan yang tidak kalah
pentingnya adalah pendidikan emosi/ afeksi, perasaan juga spiritualnya.
Pendidikan/ kecerdasan emosi inilah yang akan membuat anda sampai dengan aman, pintar tapi tanpa penguasaan emosi itu
bahaya, beresiko bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Saat anda sekolah kemudian didzolimi teman, difitnah teman, atau
mungkin ada guru anda yang galak, ingatlah bahwa ini juga sekolah dalam rangka
anda sedang belajar, yakni belajar melatih emosi supaya sabar dan ikhlas. Mari
mulai saat ini kita berkomitmen untuk lebih mendalam menafkahi baik fikiran
kita maupun perasaan kita, karena mendidik perasaan juga bagian dari keilmuan
kita mendidik hati kita. Dan jadilah PEMBELAJAR SEJATI! (Dedi Susanto).
Kalau sekolah ini dimaknai sebagai proses belajar maka ini akan
menghasilkan suatu kesuksesan (Kak Seto/ Seto Mulyadi), karena belajar yang
terus menerus, belajar dalam pengertian mengubah dari yang tidak tahu menjadi
tahu, mengubah dari yang salah menjadi benar dan seterusnya. Tapi jika sekolah
itu hanya sekedar berkumpul di sebuah tempat/gedung, kemudian narkoba, tawuran
, bullying dan sebagainya hanya
sekedar pergi ke sekolah, maka itu tidak akan menghasilkan kesuksesan.
Jika mengacu kepada definisi pendidikan dalam Undang-Undang Pendidikan
No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, bahwa pendidikan adalah “suatu proses pembelajaran yang direncanakan
agar peserta didik bisa mengembangkan potensinya secara optimal”, dan juga “memberdayakan”, karena setiap anak pada
dasarnya unggul, cerdas, dengan berbagai macam spektrum yang luas, bisa cerdas
matematika, musik, menggambar, olah raga, teater dan sebagainya. Nah, jika
potensi ini dikembangkan, maka sebagai contoh ini bisa menghasilkan 5 (lima)
Rudi yang berbeda; Rudi Habibie, Rudi Hartono, Rudi Salam, Rudi Khoerudin, atau
Rudi Hadi Soewarno,?! Semuanya hebat!.
Berikut petikan wawancara Merry
Riana dengan Kak Seto.
Apakah pendidikan formal segitu
pentingnya sampai harus S1, S2 bahkan sampai menjadi Professor?
Bagi saya sekolah adalah tempat saya untuk belajar, dan saya
mendapatkan cukup banyak hal seperti belajar berfikir logis, sistematis,
kemudian kreativitas juga bisa diasah untuk menemukan jawaban dari persoalan
yang dipelajari/ hadapi. Selama itu bukan sekedar mengejar gelar, tapi justru
untuk pembelajaran maka itu saya lakukan, karena itu semua hanyalah alat untuk
mendapatkan keberhasilan dalam hidup ini.
Saat ini banyak anak-anak
sekolah yang pergi ke sekolah tapi tidak belajar, apa yang menyebabkan mereka
pergi ke sekolah tapi tidak belajar?
Semua harus menjadi koreksi kita bersama. Jadi mungkin ada kesalahan dari kurikulum misalnya,
kurikulum yang tidak layak/ ramah untuk anak. Kemudian guru, mungkin juga harus menjadi introspeksi. Jadi, guru yang terbaik adalah guru yang menjadi
sahabat anak, guru yang sebagai fasilitator, bukan sebagai instruktur saja,
main perintah, komando, kemudian dengan berbagai cara-cara kekerasan, ini yang
akan menghasilkan anak-anak dengan tingkat stress yang tinggi.
Karena begini, pada dasarnya anak-anak ini senang belajar. Coba kenapa
anak-anak di Jepang pintar bahasa Jepang, yang di Inggris pintar bahasa
Inggris, di Jawa pintar bahasa Jawa, di Jakarta pintar bahasa Jakarta? Ini
karena mendengar ohaiyo gozaimas, good morning, sugeng enjing, selamat
pagi ribuan kali dengan penuh suasana gembira. Begitulah proses belajar bahasa,
dimana bayi-bayi cepat sekali menguasai bahasa ibunya. Kalau saja matematika,
kimia, fisika, biologi, sejarah dan semua mata pelajaran itu diperkenalkan
dengan cara seperti mengenalkan bahasa ibunya dengan penuh kasih sayang, dengan
penuh kekuatan cinta, bukan cinta pada kekuatan atau pada kekerasan, anak-anak
akan senang belajar. Coba saja, anak-anak belajar tengkurap, duduk, kan gembira
sekali, tapi begitu masuk sekolah formal kenapa jadi stress? Ya karena tadi,
penuh dengan nuansa kekerasan akhirnya terjadi perlawanan, jadi
kontraproduktif. Jadi seharusnya suasana pembelajaran memang mengasikkan,
menyenangkan, menantang, sehingga motivasinya adalah motivasi internal bukan
eksternal, bukan karena takut/ disuruh tapi karena memang mengasikkan belajar
ini. Dan ini akan menjadikan anak pembelajar seumur hidup.
Bagaimana dengan fenomena sudah
sekolah tinggi tapi tidak sukses, sedangkan yang tidak sekolah malah sukses?
Mungkin yang sukses itu belajarnya melalui kampus yang bernama
masyarakat. Artinya proses belajar itu terjadi tidak didalam kampus/ sekolah
tapi di dalam masyarakat. Karena kita tahu bahwa sesuai dengan UU Sisdiknas,
pendidikan itu ada jalur formal, informal dan nonformal. Informal ini di dalam
keluarga dan nonformal ini di dalam masyarakat, bisa melalui bimbingan belajar,
kursus, bisa juga dari masyarakat itu sendiri, dari pengalaman sehari-hari.
Boleh jadi anak jalanan yang menguasai bisnis dia belajar dari pengalaman
sehari-hari yang jauh lebih berharga dari pada harus menghafal teksbuk yang kadang-kadang
tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.
Kesimpulan
Hal yang harus diperhatikan dan dicermati :
1.
Sekolah = menuju ke suatu
tempat (misalnya ke suatu gedung)
2.
Belajar = adalah sebuah proses
3.
Pendidikan = mengembangkan
potensi seseorang
Jadi, kalau ingin sukses nomor 3 harus ada, nomor 2 harus ada,
mudah-mudahan tercapainya di nomor 1.
When you grow, your income will
grow (begitu kita bertumbuh, kemampuan kita bertumbuh, pengetahuan kita
bertumbuh, ketarampilan kita bertumbuh, maka prestasi kita akan meningkat, dengan
begitu otomatis penghasilan kita juga akan meningkat).
Jadi yang difokuskan bukan penghasilannya, yang difokuskan adalah
kitanya, karena penghasilan hanya akibat dari kita, so.. invest in yourself.
Mulai saat ini jika Anda mendapatkan gaji, lebih-lebih para guru yang
disamping gaji juga mendapatkan sertifikasi guru, tolong yang difikirkan jangan
handphone apa yang mau dibeli, jangan motor/ mobil apa yang harus dibeli atau
apa yang mau cepat-cepat diganti sementara semuanya sudah dimiliki dan masih
layak, tapi… berapa persen dari gaji anda atau sertifikasi anda, dialokasikan
untuk mengembangkan kualitas diri anda sendiri. Karena kalau kualitas kita
meningkat maka omset meningkat.
Disarikan dari: sekolah_untuk_sukses#i’m_possible__oleh
misno