Kamis, 19 Mei 2016

Sekolah untuk Sukses, benarkah?

Kata SUKSES  adalah serangkaian huruf yang tidak asing lagi di telinga kita, ada yang benar-benar mengerti penuh maksudnya ada juga yang hanya latah mengucapkannya. Makna sukses pada hakekatnya sudah pernah diuraikan dalam salah satu artikel di blog ini juga (klik disini), dan berikut adalah seri lanjutan dari apa yang tersembunyi dalam 6 (enam) susunan huruf yang dahsyat ini. 

Ada begitu banyak alasan kenapa seseorang ingin sekolah. Ada yang karena mengejar  Ijasah, ada yang karena dipaksa oleh orang tua, ada yang karena ingin menaikkan derajat keluarga, ada juga yang karena ingin menuntut ilmu setinggi-tingginya. Namun terkadang beberapa orang merasa kecewa, sudah sekolah tinggi-tinggi namun belum sukses juga. Jangankan sukses, mencari pekerjaan saja sulit. Dan beberapa orang lainnya justru sukses, meskipun tidak sekolah. Jadi, apakah Sekolah untuk Sukses? (Merry Riana).

Untuk sukses perlu sekolah (James Gwee), namun definisi dari sekolah itu harus jelas. Apakah sekolah termasuk pendidikan formil dan setelah itu sudah selesai, atau sekolah itu berjalan terus, setelah kita selesai sekolah - dapat ijasah, kita terus belajar lagi dari sekolah atau tempat-tempat belajar lainnya lagi, misalnya on the job training, belajar keterampilan lagi, dan sebagainya. “Formal education will get you a job, self education can make you rich (Jim Rohn)” dimana ini terkandung maksud bahwa “Orang yang setelah selesai sekolah dan dapat ijasah kemudian tidak mau lagi belajar, itu akan sulit sukses. Namun begitu tamat sekolah, keinginan belajarnya terus dan terus belajar, besar kemungkinan dia akan sukses”. Pepatah tiongkok bilang “hidup sampai tua, belajar sampai tua” dimana sekolah berarti tidak berhenti-berhenti belajar/ ongoing process

Islam sendiri mengajarkan, dimana Rasulullah SAW bersabda yang artinya :   Tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai liang lahat” Hadits tersebut menjadi dasar dari ungkapan “Long life education” atau pendidikan seumur hidup.

Tujuan pendidikan adalah untuk keselamatan (Ki Hajar Dewantoro), ini mengandung arti kalau orang banyak tahu, banyak wacana, banyak wawasan maka dia akan terselamatkan dari salah-salah berpikir dan salah-salah bertindak. Namun ada yang berkata seperti ini, ada orang yang berpendidikan tinggi tapi dia belum sukses, malah di sosial dia sepertinya tidak punya people skill, social skill sehingga dia dijauhi. Tanya kenapa?.

Ingatlah bahwa pendidikan itu tidak hanya kognisi saja, disana ada hard skill (pendidikan teknis) seperti mengetik 10 jari, ada juga yang bersifat ilmu (ilmu fisika, kimia, matematika, pola-pola alam semesta seperti apa, inilah kognisi), dan yang tidak kalah pentingnya adalah pendidikan emosi/ afeksi, perasaan juga spiritualnya. Pendidikan/ kecerdasan emosi inilah yang akan membuat anda sampai dengan aman, pintar tapi tanpa penguasaan emosi itu bahaya, beresiko bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

Saat anda sekolah kemudian didzolimi teman, difitnah teman, atau mungkin ada guru anda yang galak, ingatlah bahwa ini juga sekolah dalam rangka anda sedang belajar, yakni belajar melatih emosi supaya sabar dan ikhlas. Mari mulai saat ini kita berkomitmen untuk lebih mendalam menafkahi baik fikiran kita maupun perasaan kita, karena mendidik perasaan juga bagian dari keilmuan kita mendidik hati kita. Dan jadilah PEMBELAJAR SEJATI! (Dedi Susanto).

Kalau sekolah ini dimaknai sebagai proses belajar maka ini akan menghasilkan suatu kesuksesan (Kak Seto/ Seto Mulyadi), karena belajar yang terus menerus, belajar dalam pengertian mengubah dari yang tidak tahu menjadi tahu, mengubah dari yang salah menjadi benar dan seterusnya. Tapi jika sekolah itu hanya sekedar berkumpul di sebuah tempat/gedung, kemudian narkoba, tawuran , bullying dan sebagainya hanya sekedar pergi ke sekolah, maka itu tidak akan menghasilkan kesuksesan.

Jika mengacu kepada definisi pendidikan dalam Undang-Undang Pendidikan No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, bahwa pendidikan adalah “suatu proses pembelajaran yang direncanakan agar peserta didik bisa mengembangkan potensinya secara optimal”, dan juga “memberdayakan”, karena setiap anak pada dasarnya unggul, cerdas, dengan berbagai macam spektrum yang luas, bisa cerdas matematika, musik, menggambar, olah raga, teater dan sebagainya. Nah, jika potensi ini dikembangkan, maka sebagai contoh ini bisa menghasilkan 5 (lima) Rudi yang berbeda; Rudi Habibie, Rudi Hartono, Rudi Salam, Rudi Khoerudin, atau Rudi Hadi Soewarno,?! Semuanya hebat!.

Berikut petikan wawancara Merry Riana dengan Kak Seto.

Apakah pendidikan formal segitu pentingnya sampai harus S1, S2 bahkan sampai menjadi Professor?
Bagi saya sekolah adalah tempat saya untuk belajar, dan saya mendapatkan cukup banyak hal seperti belajar berfikir logis, sistematis, kemudian kreativitas juga bisa diasah untuk menemukan jawaban dari persoalan yang dipelajari/ hadapi. Selama itu bukan sekedar mengejar gelar, tapi justru untuk pembelajaran maka itu saya lakukan, karena itu semua hanyalah alat untuk mendapatkan keberhasilan dalam hidup ini.

Saat ini banyak anak-anak sekolah yang pergi ke sekolah tapi tidak belajar, apa yang menyebabkan mereka pergi ke sekolah tapi tidak belajar?
Semua harus menjadi koreksi kita bersama. Jadi mungkin ada kesalahan dari kurikulum misalnya, kurikulum yang tidak layak/ ramah untuk anak. Kemudian guru, mungkin juga harus menjadi introspeksi. Jadi, guru yang terbaik adalah guru yang menjadi sahabat anak, guru yang sebagai fasilitator, bukan sebagai instruktur saja, main perintah, komando, kemudian dengan berbagai cara-cara kekerasan, ini yang akan menghasilkan anak-anak dengan tingkat stress yang tinggi.

Karena begini, pada dasarnya anak-anak ini senang belajar. Coba kenapa anak-anak di Jepang pintar bahasa Jepang, yang di Inggris pintar bahasa Inggris, di Jawa pintar bahasa Jawa, di Jakarta pintar bahasa Jakarta? Ini karena mendengar ohaiyo gozaimas, good morning, sugeng enjing, selamat pagi ribuan kali dengan penuh suasana gembira. Begitulah proses belajar bahasa, dimana bayi-bayi cepat sekali menguasai bahasa ibunya. Kalau saja matematika, kimia, fisika, biologi, sejarah dan semua mata pelajaran itu diperkenalkan dengan cara seperti mengenalkan bahasa ibunya dengan penuh kasih sayang, dengan penuh kekuatan cinta, bukan cinta pada kekuatan atau pada kekerasan, anak-anak akan senang belajar. Coba saja, anak-anak belajar tengkurap, duduk, kan gembira sekali, tapi begitu masuk sekolah formal kenapa jadi stress? Ya karena tadi, penuh dengan nuansa kekerasan akhirnya terjadi perlawanan, jadi kontraproduktif. Jadi seharusnya suasana pembelajaran memang mengasikkan, menyenangkan, menantang, sehingga motivasinya adalah motivasi internal bukan eksternal, bukan karena takut/ disuruh tapi karena memang mengasikkan belajar ini. Dan ini akan menjadikan anak pembelajar seumur hidup.

Bagaimana dengan fenomena sudah sekolah tinggi tapi tidak sukses, sedangkan yang tidak sekolah malah sukses?
Mungkin yang sukses itu belajarnya melalui kampus yang bernama masyarakat. Artinya proses belajar itu terjadi tidak didalam kampus/ sekolah tapi di dalam masyarakat. Karena kita tahu bahwa sesuai dengan UU Sisdiknas, pendidikan itu ada jalur formal, informal dan nonformal. Informal ini di dalam keluarga dan nonformal ini di dalam masyarakat, bisa melalui bimbingan belajar, kursus, bisa juga dari masyarakat itu sendiri, dari pengalaman sehari-hari. Boleh jadi anak jalanan yang menguasai bisnis dia belajar dari pengalaman sehari-hari yang jauh lebih berharga dari pada harus menghafal teksbuk yang kadang-kadang tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.

Kesimpulan

Hal yang harus diperhatikan dan dicermati :
1.       Sekolah = menuju ke suatu tempat (misalnya ke suatu gedung)
2.       Belajar = adalah sebuah proses
3.       Pendidikan = mengembangkan potensi seseorang
Jadi, kalau ingin sukses nomor 3 harus ada, nomor 2 harus ada, mudah-mudahan tercapainya di nomor 1.

When you grow, your income will grow (begitu kita bertumbuh, kemampuan kita bertumbuh, pengetahuan kita bertumbuh, ketarampilan kita bertumbuh,  maka prestasi kita akan meningkat, dengan begitu otomatis penghasilan kita juga akan meningkat).
Jadi yang difokuskan bukan penghasilannya, yang difokuskan adalah kitanya, karena penghasilan hanya akibat dari kita, so.. invest in yourself. 

Mulai saat ini jika Anda mendapatkan gaji, lebih-lebih para guru yang disamping gaji juga mendapatkan sertifikasi guru, tolong yang difikirkan jangan handphone apa yang mau dibeli, jangan motor/ mobil apa yang harus dibeli atau apa yang mau cepat-cepat diganti sementara semuanya sudah dimiliki dan masih layak, tapi… berapa persen dari gaji anda atau sertifikasi anda, dialokasikan untuk mengembangkan kualitas diri anda sendiri. Karena kalau kualitas kita meningkat maka omset meningkat.


Disarikan dari: sekolah_untuk_sukses#i’m_possible__oleh misno                 

0 komentar:

Posting Komentar