Workshop Kurikulum 2013

-

Knowledge #1

-

Knowledge #2

-

Knowledge #3

-

Silaturrahim 2014

-

Muktamar Muhammadiyah ke-47 Makassar

-

Pawai Ta'aruf

Gebyar Muktamar Muhammadiyah ke-47

Olympicad 2016

Sabtu, 30 Januari 2016 di SMP Muhammadiyah 2 Purwokerto

Selamat dan Sukses

MUSYDA MUHAMMADIYAH-'AISYIYAH KABUPATEN BANYUMAS 2016

Marhaban Ya Ramadhan

Selamat Menunaikan Ibadah Puasa Ramadhan 1439 H

Kamis, 19 Mei 2016

Sekolah untuk Sukses, benarkah?

Kata SUKSES  adalah serangkaian huruf yang tidak asing lagi di telinga kita, ada yang benar-benar mengerti penuh maksudnya ada juga yang hanya latah mengucapkannya. Makna sukses pada hakekatnya sudah pernah diuraikan dalam salah satu artikel di blog ini juga (klik disini), dan berikut adalah seri lanjutan dari apa yang tersembunyi dalam 6 (enam) susunan huruf yang dahsyat ini. 

Ada begitu banyak alasan kenapa seseorang ingin sekolah. Ada yang karena mengejar  Ijasah, ada yang karena dipaksa oleh orang tua, ada yang karena ingin menaikkan derajat keluarga, ada juga yang karena ingin menuntut ilmu setinggi-tingginya. Namun terkadang beberapa orang merasa kecewa, sudah sekolah tinggi-tinggi namun belum sukses juga. Jangankan sukses, mencari pekerjaan saja sulit. Dan beberapa orang lainnya justru sukses, meskipun tidak sekolah. Jadi, apakah Sekolah untuk Sukses? (Merry Riana).

Untuk sukses perlu sekolah (James Gwee), namun definisi dari sekolah itu harus jelas. Apakah sekolah termasuk pendidikan formil dan setelah itu sudah selesai, atau sekolah itu berjalan terus, setelah kita selesai sekolah - dapat ijasah, kita terus belajar lagi dari sekolah atau tempat-tempat belajar lainnya lagi, misalnya on the job training, belajar keterampilan lagi, dan sebagainya. “Formal education will get you a job, self education can make you rich (Jim Rohn)” dimana ini terkandung maksud bahwa “Orang yang setelah selesai sekolah dan dapat ijasah kemudian tidak mau lagi belajar, itu akan sulit sukses. Namun begitu tamat sekolah, keinginan belajarnya terus dan terus belajar, besar kemungkinan dia akan sukses”. Pepatah tiongkok bilang “hidup sampai tua, belajar sampai tua” dimana sekolah berarti tidak berhenti-berhenti belajar/ ongoing process

Islam sendiri mengajarkan, dimana Rasulullah SAW bersabda yang artinya :   Tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai liang lahat” Hadits tersebut menjadi dasar dari ungkapan “Long life education” atau pendidikan seumur hidup.

Tujuan pendidikan adalah untuk keselamatan (Ki Hajar Dewantoro), ini mengandung arti kalau orang banyak tahu, banyak wacana, banyak wawasan maka dia akan terselamatkan dari salah-salah berpikir dan salah-salah bertindak. Namun ada yang berkata seperti ini, ada orang yang berpendidikan tinggi tapi dia belum sukses, malah di sosial dia sepertinya tidak punya people skill, social skill sehingga dia dijauhi. Tanya kenapa?.

Ingatlah bahwa pendidikan itu tidak hanya kognisi saja, disana ada hard skill (pendidikan teknis) seperti mengetik 10 jari, ada juga yang bersifat ilmu (ilmu fisika, kimia, matematika, pola-pola alam semesta seperti apa, inilah kognisi), dan yang tidak kalah pentingnya adalah pendidikan emosi/ afeksi, perasaan juga spiritualnya. Pendidikan/ kecerdasan emosi inilah yang akan membuat anda sampai dengan aman, pintar tapi tanpa penguasaan emosi itu bahaya, beresiko bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

Saat anda sekolah kemudian didzolimi teman, difitnah teman, atau mungkin ada guru anda yang galak, ingatlah bahwa ini juga sekolah dalam rangka anda sedang belajar, yakni belajar melatih emosi supaya sabar dan ikhlas. Mari mulai saat ini kita berkomitmen untuk lebih mendalam menafkahi baik fikiran kita maupun perasaan kita, karena mendidik perasaan juga bagian dari keilmuan kita mendidik hati kita. Dan jadilah PEMBELAJAR SEJATI! (Dedi Susanto).

Kalau sekolah ini dimaknai sebagai proses belajar maka ini akan menghasilkan suatu kesuksesan (Kak Seto/ Seto Mulyadi), karena belajar yang terus menerus, belajar dalam pengertian mengubah dari yang tidak tahu menjadi tahu, mengubah dari yang salah menjadi benar dan seterusnya. Tapi jika sekolah itu hanya sekedar berkumpul di sebuah tempat/gedung, kemudian narkoba, tawuran , bullying dan sebagainya hanya sekedar pergi ke sekolah, maka itu tidak akan menghasilkan kesuksesan.

Jika mengacu kepada definisi pendidikan dalam Undang-Undang Pendidikan No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, bahwa pendidikan adalah “suatu proses pembelajaran yang direncanakan agar peserta didik bisa mengembangkan potensinya secara optimal”, dan juga “memberdayakan”, karena setiap anak pada dasarnya unggul, cerdas, dengan berbagai macam spektrum yang luas, bisa cerdas matematika, musik, menggambar, olah raga, teater dan sebagainya. Nah, jika potensi ini dikembangkan, maka sebagai contoh ini bisa menghasilkan 5 (lima) Rudi yang berbeda; Rudi Habibie, Rudi Hartono, Rudi Salam, Rudi Khoerudin, atau Rudi Hadi Soewarno,?! Semuanya hebat!.

Berikut petikan wawancara Merry Riana dengan Kak Seto.

Apakah pendidikan formal segitu pentingnya sampai harus S1, S2 bahkan sampai menjadi Professor?
Bagi saya sekolah adalah tempat saya untuk belajar, dan saya mendapatkan cukup banyak hal seperti belajar berfikir logis, sistematis, kemudian kreativitas juga bisa diasah untuk menemukan jawaban dari persoalan yang dipelajari/ hadapi. Selama itu bukan sekedar mengejar gelar, tapi justru untuk pembelajaran maka itu saya lakukan, karena itu semua hanyalah alat untuk mendapatkan keberhasilan dalam hidup ini.

Saat ini banyak anak-anak sekolah yang pergi ke sekolah tapi tidak belajar, apa yang menyebabkan mereka pergi ke sekolah tapi tidak belajar?
Semua harus menjadi koreksi kita bersama. Jadi mungkin ada kesalahan dari kurikulum misalnya, kurikulum yang tidak layak/ ramah untuk anak. Kemudian guru, mungkin juga harus menjadi introspeksi. Jadi, guru yang terbaik adalah guru yang menjadi sahabat anak, guru yang sebagai fasilitator, bukan sebagai instruktur saja, main perintah, komando, kemudian dengan berbagai cara-cara kekerasan, ini yang akan menghasilkan anak-anak dengan tingkat stress yang tinggi.

Karena begini, pada dasarnya anak-anak ini senang belajar. Coba kenapa anak-anak di Jepang pintar bahasa Jepang, yang di Inggris pintar bahasa Inggris, di Jawa pintar bahasa Jawa, di Jakarta pintar bahasa Jakarta? Ini karena mendengar ohaiyo gozaimas, good morning, sugeng enjing, selamat pagi ribuan kali dengan penuh suasana gembira. Begitulah proses belajar bahasa, dimana bayi-bayi cepat sekali menguasai bahasa ibunya. Kalau saja matematika, kimia, fisika, biologi, sejarah dan semua mata pelajaran itu diperkenalkan dengan cara seperti mengenalkan bahasa ibunya dengan penuh kasih sayang, dengan penuh kekuatan cinta, bukan cinta pada kekuatan atau pada kekerasan, anak-anak akan senang belajar. Coba saja, anak-anak belajar tengkurap, duduk, kan gembira sekali, tapi begitu masuk sekolah formal kenapa jadi stress? Ya karena tadi, penuh dengan nuansa kekerasan akhirnya terjadi perlawanan, jadi kontraproduktif. Jadi seharusnya suasana pembelajaran memang mengasikkan, menyenangkan, menantang, sehingga motivasinya adalah motivasi internal bukan eksternal, bukan karena takut/ disuruh tapi karena memang mengasikkan belajar ini. Dan ini akan menjadikan anak pembelajar seumur hidup.

Bagaimana dengan fenomena sudah sekolah tinggi tapi tidak sukses, sedangkan yang tidak sekolah malah sukses?
Mungkin yang sukses itu belajarnya melalui kampus yang bernama masyarakat. Artinya proses belajar itu terjadi tidak didalam kampus/ sekolah tapi di dalam masyarakat. Karena kita tahu bahwa sesuai dengan UU Sisdiknas, pendidikan itu ada jalur formal, informal dan nonformal. Informal ini di dalam keluarga dan nonformal ini di dalam masyarakat, bisa melalui bimbingan belajar, kursus, bisa juga dari masyarakat itu sendiri, dari pengalaman sehari-hari. Boleh jadi anak jalanan yang menguasai bisnis dia belajar dari pengalaman sehari-hari yang jauh lebih berharga dari pada harus menghafal teksbuk yang kadang-kadang tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.

Kesimpulan

Hal yang harus diperhatikan dan dicermati :
1.       Sekolah = menuju ke suatu tempat (misalnya ke suatu gedung)
2.       Belajar = adalah sebuah proses
3.       Pendidikan = mengembangkan potensi seseorang
Jadi, kalau ingin sukses nomor 3 harus ada, nomor 2 harus ada, mudah-mudahan tercapainya di nomor 1.

When you grow, your income will grow (begitu kita bertumbuh, kemampuan kita bertumbuh, pengetahuan kita bertumbuh, ketarampilan kita bertumbuh,  maka prestasi kita akan meningkat, dengan begitu otomatis penghasilan kita juga akan meningkat).
Jadi yang difokuskan bukan penghasilannya, yang difokuskan adalah kitanya, karena penghasilan hanya akibat dari kita, so.. invest in yourself. 

Mulai saat ini jika Anda mendapatkan gaji, lebih-lebih para guru yang disamping gaji juga mendapatkan sertifikasi guru, tolong yang difikirkan jangan handphone apa yang mau dibeli, jangan motor/ mobil apa yang harus dibeli atau apa yang mau cepat-cepat diganti sementara semuanya sudah dimiliki dan masih layak, tapi… berapa persen dari gaji anda atau sertifikasi anda, dialokasikan untuk mengembangkan kualitas diri anda sendiri. Karena kalau kualitas kita meningkat maka omset meningkat.


Disarikan dari: sekolah_untuk_sukses#i’m_possible__oleh misno                 

Minggu, 01 Mei 2016

Tidak punya cukup uang dan waktu untuk pergi berlibur bersama siswa/ anak? Google Institut Budaya bisa menjadi jawaban buat Kita.

“Siapa yang mau berlibur?” Bila pertanyaan ini disampaikan ke siswa/ anak-anak kita, bisa dipastikan jawabanya “Saya.../ Aku mau....”, begitu kira-kira teriakan para siswa, atau bahkan anak kita sendiri. Berlibur memang menyenangkan dan selalu dinanti. Namun siapa sangka kalau untuk menuju ke suatu tempat yang jauh dan populer akan memakan biaya yang tidak sedikit. Bila ini dilakukan dalam sebuah keluarga pertimbangan lainnya adalah soal waktu, ya waktu, terlebih bagi orang tua yang sibuk bekerja, hal ini akan sulit untuk mencocokkan waktunya,  butuh sedikit usaha meluangkan waktu untuk berlibur bersama anak. Namun, saat biaya menjadi kendala dan kecocokan waktu tersebut belum tiba, Google Institut Budaya, atau Google Cultural Institute, bisa menjadi alternatif pergi berlibur buat para siswa disekolah maupun keluarga.

Apa itu Google Institut Budaya?, Google Institut Budaya adalah sebuah proyek Google untuk menghadirkan berbagai kebudayaan dunia langsung di perangkat Kita secara gratis, dengan menggunakan koneksi internet. Penjelajahan virtual yang dimaksudkan agar mereka yang belum berkesempatan mengunjungi suatu lokasi budaya, dapat mengaksesnya terlebih dahulu melalui proyek institut budaya ini. Menggunakan Google Institut Budaya bisa menjadi alternatif pergi berlibur untuk sekolah maupun keluarga.
Sebelumnya, terdapat Encarta, sebuah produk berbasis ensiklopedia dari Microsoft, yang juga menyediakan pengalaman penjelajahan virtual – tidak hanya ke masa kini, namun juga ke masa lalu, seperti berbagai situs sejarah saat masih hidup. Namun Encarta ditutup setelah terkalahkan oleh Wikipedia, produk yang sama namun bisa diakses secara gratis oleh penggunanya.


 Berawal dari inisiatif Google Art Project yang diluncurkan pada 2011, Google Institut Budaya dibuka pada tahun yang sama, dan selain pameran karya seni, institut budaya ini mulai mengusahakan berbagai kerja sama dengan museum maupun pengelola situs sejarah agar tempat-tempat ini dapat kita ‘kunjungi’ dari mana saja. Tinggal ajak para siswa/ anak-anak duduk bareng, pilih dan tonton!

Teruntuk yang punya rasa penasaran akan budaya, ujar Google dalam laman Tentang Google Institut Budaya. Google Institut Budaya mengajak kita semua, Guru, Siswa, Ayah, Ibu dan anak kita, untuk mengakses sumber pengetahuan interaktif yang mereka sediakan. Menggunakan berbagai foto asli, keluarga kita bisa seolah-olah sedang berlibur dengan berjalan-jalan di kawasan Borobudur. Ada pula pameran Kain Nusantara yang baru-baru saja diunggah Google bersamaan dengan peringatan Hari Batik Nasional. Seru, ya?

Mengapa sumber pengetahuan interaktif? Di Google Institut Budaya, anak tidak hanya sekadar membaca teks dengan sedikit gambar yang mungkin tampak membosankan di buku pelajaran sejarahnya, namun dapat menikmati ulasan baik berupa video maupun gambar, ditambah penjelajahan virtual yang memukau. Keluarga Kita bisa memilih ke mana ingin berkunjung, dan bagian mana yang ingin diketahui. Anak bahkan bisa menyimpan foto atau karya seni yang disukai sebagai koleksi pribadi.

Menurut James Paul Gee, profesor studi literasi di Arizona State University, sumber pengetahuan interaktif yang disediakan teknologi modern memungkinkan anak untuk ‘terjun langsung’ ke dalam konteks belajar mereka. Anak bisa mencoba hal-hal yang ingin mereka ketahui, selagi belajar menguasai teknologi tersebut. Hal serupa disediakan oleh Google Cultural Institute, yang membuat belajar lebih menyenangkan, dan membuat budaya lebih menarik untuk dipelajari!
 
Dalam mengakses laman Google Institut Budaya, Guru, Ayah, Ibu bisa berunding atau langsung menantang siswa/ anak untuk menjadi juru mudinya. Artinya, kita memberikan kesempatan bagi anak untuk menelusuri apa yang ingin ia ketahui sepenuhnya. Biarkan anak mencoba memilih, memutar video, atau mengarahkan penjelajahan virtual sekolah/ keluarga kita – bahkan bisa jadi siswa/ anak nantinya mengajari kita bagaimana menggunakan Google Institut Budaya!

Jadi, ketidaktersediaan budget/ dana dan sedikit waktu bepergian bukan alasan untuk tidak berlibur dan belajar bersama siswa/ anak, dan tentunya tetap harus dalam pengawasan dan bimbingan guru maupun orangtua. Setuju?


Source: http://temantakita.com with several edited by: misno