Memang agak sedikit besar untuk
ukuran saya yang mungil begini hendak mengungkapkan hal ini. Adalah sudah
menjadi wacana umum bahwa negara kita ini sedang mengalami sakit, namun kita
sepakat bahwa kita tidak sedang mengalami krisis moneter, krisis politik,
krisis ekonomi, itu semua hanya bekas, karena sumber krisis yang sebenarnya
adalah krisis akhlak. Inilah sebenarnya sumber utama yang menggerogoti
kesehatan negara kita ini. Hal ini terbukti kala :
-
Akhlak buruk, maka berekonomi licik
-
Akhlak buruk, maka berpolitik serakah/ dzalim
-
Akhlak buruk, maka berumah tangga, rumah tangga bisa
jadi bencana,
dan begitu seterusnya pada setiap
sendi kehidupan kita yang tidak didasari dengan akhlakul karimah, maka keburukanlah pula hasilnya. Jadi sehebat
apapun kita merindukan bangsa ini bangkit tapi kalau akhlak tidak menjadi
prioritas program kita, kita hanya bersiap bahwa penderitaan kita masih
panjang.
Muncullah pertanyaan, kenapa bisa
begini?
Orang bisa berakhlak buruk ada
beberapa faktor penyebanya. Negara kita menjadi “babak belur” seperti ini karena beberapa orang kita yang diberi
amanah tidak amanah, ternyata ini adalah hasil dari suatu pendidikan, kalau pola pendidikan salah ya hasilnya jadi salah. Juga
karena yang pernah merusak bangsa ini siapapun itu dulunya adalah anak-anak,
berarti pernah ada 2 (dua) hal minimal yang harus kita evaluasi, yaitu : Tata
nilai pendidikan di keluarga dan Tata nilai pendidikan yang ada di lingkungan
masyarakat.
Beribu lulusan perguruan tinggi
baik negeri maupun swasta telah diwisuda, bahkan dengan status cumlaude, namun sampai saat ini
Indonesia masih “babak belur”. Metode
pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah sudah sering diperbaharui,
hasilnya lulusannya memiliki nilai kelulusan yang tinggi, namun lagi-lagi
sampai saat ini Indonesia masih “babak
belur”. Tanya kenapa?
Sadar atau tidak terkadang kita
masih salah. Maaf, kita masih mengukur kesuksesan anak kita itu jika nilainya
baik, kita tidak tahu dia nyontek atau tidak. Kita mengukur; “Tuh anak saya
bintang kelas, paling pandai”, tapi kita tidak tahu kalau dia pendengki kepada
sesama bintang kelas lainnya atau tidak, dia sombong atau tidak. Disaat berbeda
ada yang mengukur juga; “Tuh anak saya sudah sarjana”, begitu bangga dengan
gelar sarjana, tapi kita tidak menilai bagaimana etika dia kepada guru/
dosennya, bagaimana semasa kuliah apakah bisa menjaga diri dalam pergaulannya,
karena kenyataannya terkadang ada mahasiswa yang selama kuliah tidak bisa
menjaga kemuliaan sikapnya. Juga nyontek, ngaji tidak bisa, sholat
kadang-kadang, tapi kita sudah bangga menganggap anak kita sukses, kita tidak
mengukur akhlak.
Disaat yang lain, kalau ada adik
kakak di rumah yang sudah besar-besar diukur; ”tuh, kaya anak saya yang ke 3
(tiga) sudah punya rumah, punya mobil, tidak seperti yang sulung, dia mah rumah
aja masih ngontrak, boro-boro punya mobil”. Jadi kita masih mengukur kesuksesan
itu hanya dari harta. Kalau pola alat ukur kita hanya duniawi saja, maka jadi
sarjana pecinta dunia, jadi pejabat pecinta dunia, masih mending kalau dia
mendapatkan dunianya dengan cara yang halal, yang repot dia untuk mendapat
pujian kesuksesan sampai dia dzalim kepada dirinya, keluarganya dan bahkan
orang-orang disekitarnya. Jadilah seperti kita ini, karena alat ukurnya baru
sampai pada tataran dunia belum pada tataran akhlak.
Jadi dengan ini saya berharap
kita bisa mengevaluasi, kalau negara ini ingin sukses, pertanyaanya sampai
sejauh mana kita mengukur manusia sukses itu apa.
Kalau dalam Islam itu dikatakan :
“Inna akromakum ‘indallahi atqokum” (QS. Al-Hujurat: 13), “Sesungguhnya orang
yang paling sukses/ mulia diantara kamu sekalian disisi Allah adalah orang yang
berhasil mengerahkan segala potensinya untuk taat kepada Allah dengan jalan
banyak manfaat kepada hamba-hambanya (inilah Taqwa)”. Jadi Taqwa adalah orang
yang betul-betul gigih dalam usaha memperbaiki diri, taat kepada Allah SWT,
sekuat tenaga menjaga diri dari kedzaliman, kemaksiatan, dan bergairah memompa
dirinya untuk manfaat bagi sesamanya.
Semoga yang kecil ini tadi bisa
membantu membuat perubahan, dan alangkah indahnya bila momentum ini datang dari
rumah. Seorang ibu; “anak-anak, ibu akan senang bila kalian mendapat nilai 9 yang
terpenting kalian jujur, ibu lebih bangga jika kalian mendapat nilai 6 dari
pada 10 tapi nyontek. Apa artinya sebuah nilai kalau kalian tidak bernilai.”, anak-anak
menjawab; ”baik ibu.”. Begitulah Ibu yang baik.
(disarikan
dari Tausiyah KH. Abdullah Gymnastiar oleh mizn)
0 komentar:
Posting Komentar