Minggu, 17 Agustus 2014

Manusia Sukses Itu Apa?

Memang agak sedikit besar untuk ukuran saya yang mungil begini hendak mengungkapkan hal ini. Adalah sudah menjadi wacana umum bahwa negara kita ini sedang mengalami sakit, namun kita sepakat bahwa kita tidak sedang mengalami krisis moneter, krisis politik, krisis ekonomi, itu semua hanya bekas, karena sumber krisis yang sebenarnya adalah krisis akhlak. Inilah sebenarnya sumber utama yang menggerogoti kesehatan negara kita ini. Hal ini terbukti kala :

-     Akhlak buruk, maka berekonomi licik
-     Akhlak buruk, maka berpolitik serakah/ dzalim
-     Akhlak buruk, maka berumah tangga, rumah tangga bisa jadi bencana, 

dan begitu seterusnya pada setiap sendi kehidupan kita yang tidak didasari dengan akhlakul karimah, maka keburukanlah pula hasilnya. Jadi sehebat apapun kita merindukan bangsa ini bangkit tapi kalau akhlak tidak menjadi prioritas program kita, kita hanya bersiap bahwa penderitaan kita masih panjang.

Muncullah pertanyaan, kenapa bisa begini?

Orang bisa berakhlak buruk ada beberapa faktor penyebanya. Negara kita menjadi “babak belur” seperti ini karena beberapa orang kita yang diberi amanah tidak amanah, ternyata ini adalah hasil dari suatu pendidikan, kalau pola pendidikan salah ya hasilnya jadi salah. Juga karena yang pernah merusak bangsa ini siapapun itu dulunya adalah anak-anak, berarti pernah ada 2 (dua) hal minimal yang harus kita evaluasi, yaitu : Tata nilai pendidikan di keluarga dan Tata nilai pendidikan yang ada di lingkungan masyarakat.

Beribu lulusan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta telah diwisuda, bahkan dengan status cumlaude, namun sampai saat ini Indonesia masih “babak belur”. Metode pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah sudah sering diperbaharui, hasilnya lulusannya memiliki nilai kelulusan yang tinggi, namun lagi-lagi sampai saat ini Indonesia masih “babak belur”. Tanya kenapa?

Sadar atau tidak terkadang kita masih salah. Maaf, kita masih mengukur kesuksesan anak kita itu jika nilainya baik, kita tidak tahu dia nyontek atau tidak. Kita mengukur; “Tuh anak saya bintang kelas, paling pandai”, tapi kita tidak tahu kalau dia pendengki kepada sesama bintang kelas lainnya atau tidak, dia sombong atau tidak. Disaat berbeda ada yang mengukur juga; “Tuh anak saya sudah sarjana”, begitu bangga dengan gelar sarjana, tapi kita tidak menilai bagaimana etika dia kepada guru/ dosennya, bagaimana semasa kuliah apakah bisa menjaga diri dalam pergaulannya, karena kenyataannya terkadang ada mahasiswa yang selama kuliah tidak bisa menjaga kemuliaan sikapnya. Juga nyontek, ngaji tidak bisa, sholat kadang-kadang, tapi kita sudah bangga menganggap anak kita sukses, kita tidak mengukur akhlak.

Disaat yang lain, kalau ada adik kakak di rumah yang sudah besar-besar diukur; ”tuh, kaya anak saya yang ke 3 (tiga) sudah punya rumah, punya mobil, tidak seperti yang sulung, dia mah rumah aja masih ngontrak, boro-boro punya mobil”. Jadi kita masih mengukur kesuksesan itu hanya dari harta. Kalau pola alat ukur kita hanya duniawi saja, maka jadi sarjana pecinta dunia, jadi pejabat pecinta dunia, masih mending kalau dia mendapatkan dunianya dengan cara yang halal, yang repot dia untuk mendapat pujian kesuksesan sampai dia dzalim kepada dirinya, keluarganya dan bahkan orang-orang disekitarnya. Jadilah seperti kita ini, karena alat ukurnya baru sampai pada tataran dunia belum pada tataran akhlak.

Jadi dengan ini saya berharap kita bisa mengevaluasi, kalau negara ini ingin sukses, pertanyaanya sampai sejauh mana kita mengukur manusia sukses itu apa.
Kalau dalam Islam itu dikatakan : “Inna akromakum ‘indallahi atqokum” (QS. Al-Hujurat: 13), “Sesungguhnya orang yang paling sukses/ mulia diantara kamu sekalian disisi Allah adalah orang yang berhasil mengerahkan segala potensinya untuk taat kepada Allah dengan jalan banyak manfaat kepada hamba-hambanya (inilah Taqwa)”. Jadi Taqwa adalah orang yang betul-betul gigih dalam usaha memperbaiki diri, taat kepada Allah SWT, sekuat tenaga menjaga diri dari kedzaliman, kemaksiatan, dan bergairah memompa dirinya untuk manfaat bagi sesamanya.

Semoga yang kecil ini tadi bisa membantu membuat perubahan, dan alangkah indahnya bila momentum ini datang dari rumah. Seorang ibu; “anak-anak, ibu akan senang bila kalian mendapat nilai 9 yang terpenting kalian jujur, ibu lebih bangga jika kalian mendapat nilai 6 dari pada 10 tapi nyontek. Apa artinya sebuah nilai kalau kalian tidak bernilai.”, anak-anak menjawab; ”baik ibu.”. Begitulah Ibu yang baik.


(disarikan dari Tausiyah KH. Abdullah Gymnastiar oleh mizn)

0 komentar:

Posting Komentar